SERAT CEMPORET KARYA R. Ng. RANGGAWARSITA DAN KAIDAH ISI SERAT
(Studi Naskah pada Serat Cemporet Karya R. Ng. Ranggawarsita)
Oleh : Saifudin, S.Sos.I
I.
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat
untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Bahasa berfungsi
sebagai alat pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan dan inventaris
ciri-ciri kebudayaan. Seperti halnya masyarakat Jawa yang merupakan kelompok
etnis, maka masyarakat Jawa memiliki bahasa dan kebudayaan sendiri.
Keanekaragaman bahasa Jawa tercermin dari adanya dialek maupun subdialek bahasa
Jawa, sedangkan kekomplekannya tercermin dengan adanya kerumitan dalam
pemakaian tingkat tutur speech levels
dalam tuturan, pemaknaan sinonimi, polisemi, kata-kata arkhais maupun idiom
bahasa Jawa. Bahasa Jawa juga memiliki banyak Idiom yang berupa ungkapan atau
peribahasa. Bahasa Jawa memiliki fungsi utama sebagai alat komunikasi bagi
masyarakat penuturnya. Fungsi bahasa Jawa yang lain seperti, (1) sarana
pengembangan kebudayaan sastra dan budaya Jawa, (2) sebagai aset nasional, (3)
sebagai sarana komunikasi intra – etnik, (4) sebagai identitas atau jati diri
penuturnya, (5) bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar di tingkat awal
sekolah dasar di Jawa, (6) surat-menyurat di lingkungan keluarga, dan (7)
Sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan seni pertunjukan tradisional.
Kekayaan bahasa dalam hasil kebudayaan jawa, yang berupa sastra
terlihat di dalam sastra lama dan legenda
burung selain berfungsi sebagai tokoh ceritera ada pula yang berfungsi
ganda yaitu, sebagai penghubung cinta antara pria dan wanita yang terungkap di dalam
Serat Cemporet karya Ranggawarsita,
terjalin hubungan kisah kasih Jaka Pramana dengan Rara Kumenyar (penyamaran
Dewi Suretna, puteri Jepara) yang diciptakan oleh seekor burung beo. Kisah
cinta itu berakhir dengan perkawinan Jaka Pramana dengan Rara Kumenyar.
Dalam makalah
ini nantinya akan dijelaskan mengenai koleksi barang bersejarah bagu masyarakat
Jawa Tengah, yang tersimpan di salam Museum Ranggawarsito Semarang. Serta
analisis teks, mengenai isi Serat Cemporet karya R. Ng. Ranggawarsita, seorang
pujangga keraton Surakarta.
II.
PERMASALAHAN
1. Seperti apa gambaran koleksi yang ada dalam Museum
Ranggawarsito?
2. Bahaimana gambaran umum mengenai isi dari Serat
Cemporet karya R. Ng. Ranggawarsita?
III. PEMBAHASAN
A.
Selayang
Pandang Museum Ranggawarsita Jawa Tengah
Museum Ranggawarsita merupakan sebuah
aset pelayanan publik di bidang pelestarian budaya dan pendidikan yang tidak
asing lagi bagi masyarakat Jawa Tengah. Museum ranggawarsita Jawa Tengah
diresmikan pada tanggal 5 Juli 1989. Saat ini museum Ranggawarsita memiliki
kurang lebih 59.814 buah koleksi yang tersimpan baik di dalam masing-masing
ruangan dalam museum ini. Kini sudah banyak pengunjung dari anak-anak sampai
orang dewasa yang menyempatkan diri untuk melihat lebih jauh mengenai koleksi
maupun sejarah yang terjadi di Jawa Tengah. Tidak hanya dari daerah Semarang,
pengunjung juga berasal dari berbagai wilayah di Indonesia.
Nama Ranggawarsita sendiri diambil dari
nama seorang pujangga Kearton Surakarta Hadiningrat yang telah menghasilkan
karya-karya sastra yang begitu akrab di kalangan masyarakat Jawa. Sebagai
contoh: Serat Kalatidha denagn syair-syairnya yang meramalkan akan adnya zaman
edan. Museum Ranggawarsita terletak di salah satu sudut Kota Semarang, tepatnya
terletak di jl. Abdurrahman Saleh No. 1 Semarang.
Museum ranggawarsita memiliki berbagai
macam koleksi yang tersimpan di masing-masing ruang pemeran. Hal tersebut
didukung oleh penyajian koleksi yang mengacu pada konteks eksistensi manusia di
Jawa tenagh dan lingkungannya. Konteks ini dituangkan dalam empat gedung pamer
utama yang ditata secara kronologis. Dimulai dari sejarah alam, zaman Hindu
buddha, masa Islam, masa Kolonial, sejarah perjuangan bangsa serta kesenian
yang berkembang di Jawa tengah dari dulu hingga sekarang.
Memasuki ruangan pamer utama, kita
disambut dengan tetenger Gunungan Blambangan berukuran raksasa yang merupakan
hasil karya seni anak bangsa, dari SMK Ukir Jepar, yang menggambarkan sistem
kehidupan di alam semesta yang tidak kekal dan diwarnai denagn gejala yang
saling bertolak belakang, kanan-kiri, atas-bawah dan depan-belakang. Falsafah
yang diyakini masyarakay Jawa adalah bahwa untuk mencapai tujuan mulia, akan
selalu mendapat rintangan. Diakhiri denagn kisah Bima Suci yang menggambarkan
perjuangan Bima mencapai kehidupan abadi (tirta
Parwitra). Digambarkan pula bayangan dewa Ruci dengan tata pewarnaan yang
serba hitam, makna filosofinya menggambarkan bahwa perjalanan sejarah
masyarakat Jawa yang bermuara pada pembentukan jatidiri di dalam menuju
cita-cita.
B.
Koleksi
Museum Ranggawarsita Jawa Tengah.
Museum Ranggawarsita memiliki beragam
koleksi yang didisplay dalam empat
gedung pameran tetap meliputi:
1.
Gedung
A (Ruang Geologi dan Paleontologi)
A1. (Gedung A lantai
1), Wahana Geografi dan Batuan.
Ruangan ini menampilkan lukisan sejarah
terjadinya alam semesta. Berisi koleksi batuan dan evokatif gua stalaktif dan stalakmit. Serta berisi juga koleksi macam-macam Batu Mulia. Di
dalam ruangan ini pengunjuk di ajak untuk melihat lebih jauh proses
terbentuknya alam semesta. Tidak hanya itu pengunjung juga diajak untuk
mengenal lebih jauh mengenai struktur bumi dari yang paling dalam hingga yang
paling luar.
A2. (Gedung A lantai
2), Wahana Paleontologi.
Dalam ruangan ini ditampilkan beberapa
koeksi fosil-fosil hewan purba, tumbuhan, serta manusia purba. Dari kesemuanya,
banyak yang ditemukan di kawasan situs purbakala Sangiran, Sragen. Selai itu di
dalam ruangan ini ditampilkan lukisan tentang perkembangan kehidupan reptil
mulai dari zaman terdahulu hingga sekarang.
2.
Gebung
B (Ruang Sejarah Peninggalan Islam, masa kolonial serta Wahana Keramik dan
Batik)
B2. (Gedung B lantai
2), Wahana Keramik dan Batik.
Dalam ruangan ini digambarkan serta
ditampilakan berbagai macam koleksi keramik dari Cina, Eropa dan keramik lokal.
Sedangkan koleksi batik, menampilkan koleksi batik dari berbagai daerah di Jawa
Tengah sepertii Lasem, Pekalongan, Semarang, Pati, Surakarta dan Banyumasan.
Tidak hanya koleksi keramik dan batik. Di gedung B lantai 2 ini disajikan
gambaran mengenai situs Megalitikum,
bentuk Punden Berundak (semacam
lokasi yang diguanakan untuk melakukan pemujaan leluhur pada masa kepercayaan Animisme dan Dinamisme), Menhir
(sebuah tanda dalam masyarakat Animisme
untuk menandai sebuah lokasi yang dianggap sakral), serta miniatur candi
Kalasan.
B1. (Gedung B lantai
1), Masa Peninggalan Islam dan Masa Kolonial.
Dalam ruanagn ini dipamerkan beberapa
situs-situs pemujaan seperti Dolmen,
Arca perwujudan nenek moyang, Nekara
dan alat upacara lainnya. Selain itu tampak di salah satu sudut ruangan tersaji
beberapa arca perwujudan dewa-dewa. Seperti arca Pradna Paramitha dari candi Singosari Jawa Timur, arca Siwa Mahaguru dari komplek candi
Bandungan Kabupaten Semarang, Siwa
Mahadewa dari komplek Ngempon Klepu Kabupaten Semarang, Lingga Yoni dari daerah Kalibeji Tuntang
kabupaten Semarang,Durga
Mahesasuramardini.
Beberapa bagian candi juga tersimpan
baik dalam museum ini, seperti bagian terakota
sebuah hiasan atas candi, Jalur Bwara
sebauh saluran air dalam candi, Kemuncak
bangunan candi.
Di salah satu sudut ruangan terpajang
Al-Qur’an raksasa tulisan tangan yang dibuat sekiatr abad XIX Masehi. Memasuki
masa awal Islam abad XIV-XVI, disajikan berbagai miniatur serta gambarran
sejarah awal perkembangan Islam di Jawa. Miniatur banguan masjid agung Demak
serta masjid agung Kudus terpampang baik di salah satu sudut dalam ruangan ini.
3.
Gedung
C (Wahana Perjuangan bangsa dan Etnografi).
C1. (Gedung C lantai
1), Wahana Perjuangan Bangsa.
Koleksi yang paling menari dalam ruangan
ini adalah ruang diorama. Yang menampilkan delapan adegan peristiwa bersejarah
yang berhubungan dengan sejarah perjuangan bangsa dalam bentuk boneka kecil. Di
ruang diorama ini, pengunjung juga dapat mendengarkan narasi dari sebuah
peristiwa melalui earphone yang ada
di setiap diorama tersebut. Walaupun pada saat penulis berkunjung fasilitas
tersebut tidak dapat dinikmati.
C2. (Gedung C lantai
2), Wahana Etnografi.
Dalam ruangan ini digambarkan kehidupan
masyarakat Jawa Tengah sehari-hari. Dalam bidang teknologi mata pencaharian,
teknologi industri, teknologi kerajian, teknologi rumah tinggal dan lain
segabainya.
Evokatif
teknologi industri Besalen (pande
besi), merupakan bengkel pembuatan alat-alat pertanian dan pertukangan serta
alat-alat rumah tangga, bahkan membuat benda pusaka seperti keris, tombak dan
pedang yang biasanya dibuat oleh sang Empu.
4.
Gedung
D (Wahana Kesenian dan Era Pembanguan)
D2.
(Gedung D lantai 2), Wahana Kesenian.
Dalam ruangan ini disajikan berbagai
macam hasil dari kebudayaan masyarakat Jawa Tengah yang pernah ada, mulai dari
hasil yang berupa benda, peralatan maupun jenis kesenian musik, pergelakan
maupun pertunjukan. Salah satu kesenian yang ditampilkan adalah kesenian Singo Barong (semacam hewan harimau yang
di dalamnya terdapat orang yang menggerakkannya atau memainkannya) dan Kuda Lumping (sejenis kuda yang terbuat
dari anyaman bambu, yang dimainkan oleh seorang pemain), yang keduanya
merupakan seni pertunjukkan yang berbau magis
sehingga diperlukan seseorang yang dapat menetralkan kembali pemain yang
mengalami trans (kesurupan). Barongan
sangat berkembang pesat sebelum masuknya agama Islam.
Dalam
ruangan ini pula disajikan berbagai macam bentuk wayang, mulai dari wayang
kulit, wayang purwo, wayang goleh dan lain sebagainya. Selain itu di sini
disajikan miniatur mengenai pertunjukkan wayang yang biasanya digelar semalan
suntuk, mulai dari dalang, panggung, wayang hinhha peralatan yang mendukung
sebuah pertunjukkan wayang, yang kesemuany disajikan secara apik menyerupai aslinya. Alat panembromo juga tersaji secara apik dan lengkap di salah satu sudut
ruangan.
D1. (Gedung D lantai
1), Wahana Era Pembangunan
Dalam ruangan ini terbagi lagi menjadi
beberapa ruangan, diantaranya ruang pembangunan, ruang numismatika/heraldika, ruang tradisi nusantara, ruang intisari, dan
diakhiri dengan ruang hibah. Di dalam ruangan ini disajikan berbagi bentuk
serta gambaran mengenai sesuatu hal yang berkaitan dengan erkembangan masyarakat
dalam masa (era) pembangunan. Mata
uang asing dari berbagai belahan duania juga nampak mengisi koleksi
museumRanggawarsita, kemudian juga perkembangan bentuk mata uang Indonesia mula
dari yang berbentuk lembaraan, koin, besar maupun kecil, yang memiliki gabar
sendiri-sendiri juga nampak dalam almari penyimpanan koleksi museum
Ranggawarsita.
Ruang hibah merupakan merupakan sebuah ruangan khusus yang menyimpan
berbagai koleksi yang berasal dari penyerahan (hibah) yang diberikan secara langsung dari masyarakat kepada pihak
penglola museum Ranngawarsita. Benda-benda yang dihibahkan berasal dari
perorangn maupun instansi. Sebagai contok berbagai tosan aji, yaitu berupa Keris, tombak dan lain-lain. Selain itu
juga ada koleksi sepeda yang digunakan untuk mengantarkan surat maupun paket
yang berasal dari hibah PT. Pos
Indonesia.[1]
C.
Analisis
Teks Naskah SERAT CEMPORET Karya R. Ng. Ranggawarsita
“Songgogora
candraning hartati, lwir winidyan saroseng parasdya, ringga-ringa, tan darbe
labdeng kawruh, angruruhi wenganging budi, kang mirong ruhareng tyas, jaga
angkara nung, minta luwaring duhkita, away kongsi kewran luketing kinteki, kang
tata ginupita.”[2]
Songsoggora
(payung agung) sebagai lambang keselamatan, bagaikan winidyan (dikaruniai
pengetahuan) yang sesuai benar dengan apa yang diidam-idamkan, namun tetap
ringa-ringa (ragu-ragu) sewaktu menggubah, karena tidak darbe (memiliki)
kemampuan yang tinggi, sehingga terlebih dahulu harus angruruhi (mencari)
kerisauan batin, dan jaga (menjaga) angkara murka, seraya mohon luwaring
(semoga terbebas dari) kesedihan, agar jangan kongsi (sampai) bingung dalam
menyusun jalannya cerita ini, dan demikianlah cerita ini ginupita (digubah).
“Pangapusing
putaka sayekti, saking karsa Dalem Sri Narendra, kang kaping sanga mendhireng,
Surakarta praja gung, sumbageng rat dibya di murti, matotama susanta, santosa
mbek sadu, sadargeng galih legawa, sih ing wadya gung alit samya nemuji,
raharjeng praja nata.”[3]
Sesungguhnya
buku cerita ini disusun atas kehendak Sri Baginda IX, yang bertahta di kerajaan
besar Surakarta. Sri Baginda termasyhur di dunia karena kesaktiannya dan
sebagai perujudan utama akan sifat-sifat utama, suci, berhati sabar, sentosa,
pemurah serta tulus cintanya kepada rakyat, sehingga besar maupun kecil mereka semua
mendoakan kesejahteraan kerajaan Sri Baginda.
“Nahan
mangkya mukyaning kekawin, wasitadi dadya sudarsana, salaksaning barang reh, rinuruh kang rahayu, mangka pemut
limiting budi, dumadi tan sangsaya, wahyeng wuryanipun, kang pustaka raja
wedha, winardya ring tepa palupining nguni, Prajeng Purwacarita.”[4]
Sebagai
awal dari cerita ini akan diungkapkan sebuah kiasan yang indah yang dapat
dijadikan teladan dalam melakukan segala hal, asal saja dicari yang rahayu
untuk memperingatkan kekhilafan budi, agar segala sesuatu dapat berlangsung
dengan mudah, Yang diungkapkansebagi suri teladan adalah cerita lama, bagian
akhir dari Pustaka Rajaweda yakni tentang negara Purwacarita.
“Dahat
karta harjaning nagari, kawibawan prabaweng narendra, kang kasebut bisikane,
Prabu Sri Mahapunggung, deni rambek sudarma niti, widagdeng pangawikan,
kamulaning dangu, Sang Prabu Suwelacala, putra jalu nenem samya pekik-pekik,
sembada mandraguna.”[5]
Negeri
itu sangat sejahtera berkat wibawa raja, yang bergelar Sri Mahapunggung, yang
kukuh berpegang pada darma dan peraturan serta ahli di bidang ilmu pengetahuan.
Semula raja Suwelecala yang menjadi awal cerita, mempunyai enam orang anak
laki-laki yang berimbang kesaktiaannya.
“Kang
asepuh pribadi wewangi, Raden Jaka Panuhun punika, remen olahing tetanen, marma
jumeneng ratu, angreh sagung wong among tani, Tanah Pagelen sadaya, lan
saurutipun, akarya kutha wangunan, nama Prabu Sri Manuhun amengkoni, ing
Pagelen Kuthaarja.”[6]
Yang
sulung bernama Raden Jaka Panuhun, ia tertarik pada bidang pertanian. Oleh
karena itu ia naik tahta dan memerintah segenap masyarakat tani di daerah
Pagelan dan sekitanrnya, disanalah ia membangun sebuah kota sebagai pusat
pemerintahan daerah Pagelen dan Kutaarja serta bergelar Sri Manuhun.
“Putra inking panenggak winarni, sira Raden
Jaka Sandhanggarba, lampah dagang karemenane, dahat denya manungku, sangkaning
the mardya marsudi, dadining artadaya, marmanireng dangu, jumeneng ratu
saudagar, akekutha ing Japara nama ngalih Sang Prabu Sri Sadhana.”[7]
Anak
yang kedua bernama Raden Jaka Sandanggarba, tertarik pada dunia perdagangan.
Oleh karena itu layaklah kalau ia sangat tekun berusaha mengumpulkan modal,
sehingga akhirnya menjadi raja saudagar, berpusat di Jepara dan bergelar Sri
Sadana.
“Panengahing
putra awewangi, sira Raden Jaka Karung kala, sabeng wana karemenane, ambedhag
ambubujung, kidangsangsam bantheng jejawi, myang memikat kukila, prapteng
wedanipun, jumeneng ratu kirata, angreh para grema tuhaburu tuwin, kalang jagal
sadaya.”[8]
Anak
yang ketiga bernama Raden Jaka Karungkala, kegemarannya menjelajahi hutan
belantara berburu kijang, rusa, banteng, lembu dan memikat burung. Waktu tua
menjadi raja di Kirata memimpin para pemburu, para penangkap binatang, para
pemelihara ternak dan semua pedagang daging.
“Parambanan
kutharening nguni, apanengran Sang Prabu Sri Kala, Kirataraja parabe, anulya
arinipun, Jaka Tunggulmetung wewangi, sesabeng jro narmada, karemenanipun,
anggung mamandaya mina, myang ndederes aren ing raina wengi, sinambi karya
uyah.”[9]
Dulu
kotanya di Prambanan dan bergelar Sri Kala, juga terkenal dengan sebutan
Kirataraja. Adiknya yakni Jaka Tunggumetung, kegemarannya mengarungi lautan
mencari ikan atau menyadap enau di waktu siang, seraya membuat garam di waktu
malam.
“Marmanira
nguni angratoni, sangunging wong tukang ngambil mina, angiras angreh wong
nderes, wong poyahan winengku, Pagebangan khutaning nguni, ran Prabu Sri
Malaras, sumendhining sunu, Dyan Jaka Petungtantara, amandhita karem ing pudya
semadi, marsudi puruhita.”[10]
Oleh
karena itulah dahulu ia merajai segenap nelayan, mengumpulkan dan memimpin para
penyadap serta menguasai para pembuat garam. Dulu pusatnya di Pagebangan dan
bergelar Sri Malaras, anak yang sumendi, yakni kakak si bungsu yang bernama
Raden Jaka Petungtantara, karena gemar beroleh puji dan samadi serta
mempelajari ilmu kependetaan dan kepujanggaan istana.
“Marma
dadya retuning maharsi, sagung para pandhita myang ajar, kang samya winengku
kabeh, ngiras mong kang pangulu, brahmana gung ing Medhang kawit, amranata
agama, mangkya namanipun, Prabu Resi Sri Madewa, aneng Lawu Pamagetan apedidik,
arja winangun praja.”[11]
Jadilah
ia raja para maharesi, segenap pendeta dan ajar, itulah yang ia kuasai, seraya
menghimpun para penghulu serta brahmana dan mengatur kehidupan beragam di Medangkawit.
Oleh karena itu ia bergelar Raja Resi Sri Madewa. Pertapaannya berpusat di
Pamagetan, yang terletak di lereng Gunung Lawu, dibangun sebagai sebuah
kerajaan yang sejahtera.
“Dene
putra kang anem pribadi, mijil saking garwa prameswara, Jaka Kandhuyu namane,
karem keratin iku, amiluta maring wadya lit, ing saben aseseban, kasub
sabayantu, lawan sagung kadang warga, prawingnya met nala memalad sih, marma ntuk
kewibawan.”[12]
Adapun
yang muda, lahir dari permaisuri bernama Jaka Kanduyu, kegemarannya
berorganisasi, menghimpun dan mempersatukan rakyat kecil, sehingga setiap kali
ada permusyawaratan selalu seia sekata dengan segenap sanak keluarga. Ia memang
mahir membangkitkan semangat dan memikat hati, sehingga mempeperoleh
kewibawaan.
“Duk
lelana dikara ndon jurit, wus kelakon jayeng adilaga, Sri Daneswara muksane,
sareng lan patihipun, dwita Rota tanpa panulih, punggaweng praja samya,
abipraya nungkul, ing wasana samantara, Raden Jaka Kandhuyu madeg narpati,
aneng Purwacarita.”[13]
Ketika
ia berkelana memperluasa daerah kekuasaan dengan membawa pasukan, terjadilah
peperangan dan ia menang perang mengalahkan Sri Daneswara beserta patihnya yang
muksa bersama-sama. Setelah keduanya kalah, tak ada yang tampil lagi seluruh
punggawa dari kerajaan itu sepakat untuk menyerah. Tak lama kemudian Raden Jaka
Kanduyu menjadi raja di Purwacarita.
“Saking
parmane Hyang Utipati, sinung putus ing kawicaksanaan, dadya nagalih namane,
Prabu Sri Mahapunggung, nunggak semi kang mukseng jurit, angiras sesangkriban,
kasudibyanipun, samana jumenengira, ingestrenan dening para brahmanarsi,myang
ratu mancapraja.”230
Berkat
pahala Hyang Hutipati, ia dianugerahi kebijaksanaan yang sempurna. Kemudian
berganti nama menjadi Sri Mahapunggung, meneruskan gelar raja yang
dikalahkannya dalam peperangan, sekaligus untuk merahasiakan kesaktiannya.
Upacara penobatannya dihadiri oleh para brahmana, resi, dan raja-raja dari
mancanegara.
“Jroning
mangsa Srawana marengi, taun Sadhamuka lumaksana, surya sangkala etange, rupa
tri mukseng lebu, ketang candra sangkaleng warsi, janma nem tanpa rupa, antara
setaun, denya ngangkat para kadang, sinung praja sowang-sowang angratoni, ing
reh sabawahira.” [14]
Peristiwa
itu terjadi pada masa Srawana, tahun Sadamuka yakni tahun Surya : 1031 atau
menurut hitungan tahun Candra : 1061, yakni kurang lebih satu tahun setelah
mengangkat saudara-saudaranya memerintah di kerajaan masing-masing, lengkap
dengan daerah kekuasaannya.
“Wus
mangkana ing antara lami, lulus datang kara-kara, mangkaya wuwusen ing Pegelen,
Sang Prabu Sri Manuhun, kataman tyas sengkal kekeling, darunaning sungkawa,
denira sesunu, kaping kalih samya cacad, cebol wujil kang sawiji den wastani,
Raden Jaka Pratama.”[15]
Demikianlah
telah berlangsung beberapa waktu lamanya tanpa ada sesuatu halangan, kini
tersebutlah di Pegelen Sri Baginda Sri Manuhun, yang sedang merasa masygul.
Sebab musabab kesedihannya ialah, berputra du orang, dua-duanya cacat. Seorang
cebol dan yang seorang wujil, yang cebol diberi nama Raden Jaka Pratana.
Kang
awujil sinungan wewangi, Raden Jaka Sengara punika, kang rama dahat
wirange, anggung denya manungku, pudyastuti ing ariratri, mint parmaning dewa,
ing pangesthinipun sinungana putra priya, kang apekik sarwa widadeng pambudi,
supadi tan sandea.”[16]
Yang
wujil diberi nama Raka Jaka Sangara, hal ini membuat ayahnya sangat malu,
sehingga siang dan malam ia tiada hentinya bersembahyang, mohon petunjuk dewa
yang didambakan ialah semoga dianugerahi anak laki-laki yang tampan, serba bisa
mengatasi segala sesuatu agar supaya tidak mencemaskan.
“Mangkya
wonten wasita kapyarsi, jroning pudya heh Sri Naranata, amintaa pitulunge,
buyut kang adhedhukuh, aneng
Sendhagkulon sayekti, sira antuk sarana, bisa asesunu, jalu pekik asembada,
poma nuli lakonana away kongsi, anggawa wadyabala.”[17]
Kini
terdengarlah petunjuk dalam samadinya “ Hai Sri Baginda, mintalah pertolongan
kepada seorang buyut yang bertempat tinggal di Sendangkulon, engkau pasti akan
memperoleh sarana sehingga bisa mendapat anak laki-laki yang tampas dan pantas,
segeralah engkau ikhtiar dan jangan membawa pengiring.[18]

Dari ide cerita yang terkandung di dalam
kisah yang terdapat dalam serat Ceporet ini. Pengaruh kepercayaan Hindu-buddha
terlihat dengan jelas. Hal ini tidak dinafikkan, karena memang pada masa itu
Hindu-buddha sedang berkembang. Akan tetapi yang menarik adalah, ternyata dar
dahulu masyarakat Jawa mempunnyai toleransi keagamaan yang sangat besar.
Kepercayaan masyarakat Jawa yang terungkap melelui kakawin pada saat tertentu
tampak berkembang dalam proses evolusi yang lamban. Namun, yang pasti adalah
bahwa ideology yang baru, baik Hindu maupun Buddha, rupanya di Jawa lebih
rukun.[19]

Dalam serat ini, kata-kata yang
digunakan oleh R. Ng. Ranggawarsito adalah sebuah kata konkret dan abstrak.
Seperti halnya, penggunaan kata manusia, nama orang, yang dar keduanya
menunjuk kepada suatu benda tertentu yang memiliki eksistensi. Sedangkan abstraknya
meruju pada penggunaan kata bijaksana, dermawan, suka berorganisasi, yang mana
dari kata-kata tersebut menunjuk kepada sifat, keadaan maupun kegiatan yang
dilepas dari obyek tertentu.[20]
Serat Cemporet ini berua sebuah buku,
diterbitkan oleh Albert Rusche di Surakarta pada tahun 1896. Merupakan karya R.
Ng. ranggawarsito dalam bentuk puisi yang ditulis oleh orang lain. Termasuk
jenis fiksi, berupa ajaran pendidikan moral,isinya menceritakan raden mas Jaka
Praman, seorang putra Pagelen, menikah dengan Rara Kumenyar seorang anak angkat
ki Buyut kumenyar.[21]

Dalam serat Cemporet ini terdapat
beberapa contoh pelajaran moral yang bisa didapat, semisal: seorang raja (orang
yang mempunnyai tahta, sebagai penguasa kerajaan) tidak malu-malu untuk meminta
petunjuk kepada rakyat biasa (kecil). Selain itu sang raja juga seorang yang
taat akan petunjuk dewa, walaupun sudah memiliki kekuasaan yang lebih, sang
raja ternayata masih taat akan petunjuk dari sang dewa, hal ini menunjukkan
ketaatan seorang hamba tanpa melihat pangkat.
Satu hal yang paling menonjol adalah
peristiwa kelahiran putra dari sang raja yang tidak sesuai dengan keinginan,
justru di luar dugaan kedua anaknya lahir dengan cacat tubuh yang dibawa
masing-masing anak. Kemudian sang raja merasa tidak puas dan bersyukur akan
karunia yang telah diberikan. Olah karena itu sebagai generasi muda kita
selayaknya bersyukur akan karunia serta segala bentuk pemberian yang berasal
dari Tuhan.
IV. KESIMPULAN
R. Ng. Ranggawarsito merupakan penulis santra Jawa yang begitu
produktif pada zamannya. Berbagai macam judul yang ditulis dalam berbagai macam
bentuk bingkai karya sastra mapu diciptakan dan dikreasikan oleh R. Ng.
Ranggawarsito dengan begitu indah. Hal ini terlihat dari gaya penggunaan
kata-kata serta gaya setting cerita serta alur yang begitu runtut, menjadikan
karya sastra yang dibuat oleh R. Ng. Ranggawarsito enak untuk dibaca serta
untuk dipahami pesan moral yang terkandung dari karya sastra Jawa yang dibuat
oleh R. Ng. Ranggawarsito.
Dari ide cerita yang terkandung di dalam kisah yang terdapat dalam
serat Ceporet ini. Pengaruh kepercayaan Hindu-buddha terlihat dengan jelas. Hal
ini tidak dinafikkan, karena memang pada masa itu Hindu-buddha sedang
berkembang. Dalam serat ini, kata-kata yang digunakan oleh R. Ng. Ranggawarsito
adalah sebuah kata konkret dan abstrak. Serat Cemporet ini
merupakan karya R. Ng. Ranggawarsito dalam bentuk puisi yang ditulis oleh orang
lain. Termasuk jenis fiksi, berupa ajaran pendidikan moral,isinya menceritakan
raden mas Jaka Praman, seorang putra Pagelen, menikah dengan Rara Kumenyar
seorang anak angkat ki Buyut kumenyar.
Dalam serat Cemporet ini terdapat beberapa contoh pelajaran moral
yang bisa didapat, semisal: seorang raja (orang yang mempunnyai tahta, sebagai
penguasa kerajaan) tidak malu-malu untuk meminta petunjuk kepada rakyat biasa
(kecil). Selain itu sang raja juga seorang yang taat akan petunjuk dewa,
walaupun sudah memiliki kekuasaan yang lebih, sang raja ternayata masih taat
akan petunjuk dari sang dewa, hal ini menunjukkan ketaatan seorang hamba tanpa
melihat pangkat.
Satu hal yang paling menonjol adalah peristiwa kelahiran putra dari
sang raja yang tidak sesuai dengan keinginan, justru di luar dugaan kedua
anaknya lahir dengan cacat tubuh yang dibawa masing-masing anak. Kemudian sang
raja merasa tidak puas dan bersyukur akan karunia yang telah diberikan. Olah
karena itu sebagai generasi muda kita selayaknya bersyukur akan karunia serta
segala bentuk pemberian yang berasal dari Tuhan.
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang dapat saya buat, tentunya masih banyak kekurangan. Oleh karena itu
saya mengharap saran dan kritik yang konstruktif demi perbaikan pada pembuatan
selanjutnya. Terima kasih atas segala kritik dan sarannya. Mohon maaf apabila
terdapat banyak kekurangan. Akhirnya saya berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi dunia pendidikan kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Amien, M.
darori (ed.). 2000. Islam dan
Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
Hasil dari
observasi lapangan yang dilakukan di Museum Ranggawarsita Jawa Tengah, Jl.
Abdurrahman Saleh No. 01 Semarang
Mundiri. 1994. Logika. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Purwadi. 2005. Sastra Jawa. Yogyakarta: Media Abadi.

[1]
Hasil dari observasi lapangan yang dilakukan di Museum Ranggawarsita Jawa
Tengah, Jl. Abdurrahman Saleh No. 01 Semarang
[2] R. Ng.
Ranggawarsita, Serat Cemporet, (Jakarta: Depertemen
Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1980),
hlm. 229
[3] Ibid,
hlm. 229
[4] Ibid,
hlm. 229
[5] Ibid,
hlm. 229
[6] Ibid,
hlm. 229
[7] Ibid,
hlm. 229
[8] Ibid,
hlm. 229-230
[9] Ibid,
hlm. 230
[10] Ibid,
hlm. 230
[11] Ibid,
hlm. 230
[12] Ibid,
hlm. 230
[13] Ibid,
hlm. 230
[14] Ibid,
hlm. 230-231
[15] Ibid,
hlm. 231
[16] Ibid,
hlm. 231
[17] Ibid,
hlm. 231
[18]
Semua terjemahan yang tidak ditulis Italic (miring), merujuk pada R. Ng. Ranggawarsita, Serat Cemporet, (Jakarta:
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia
dan Daerah, 1980), hlm. 9-12
[19] Ismawati,
“Budaya dan Kepercaaan Jawa Pra-Islam,” dalam M. darori Amien
(ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000),
hlm. 13-14
[20]
Mundiri, Logika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 24
[21]
Purwadi, Sastra Jawa, (Yogyakarta: Media Abadi, 2005), hlm. 31.
Top 5 casino site reviews - Lucky Club
ReplyDelete› Reviews › casino-sites › Reviews › casino-sites Find the luckyclub best casino sites for your needs today. Read our review to see which are the top 10 slots & where to play them. Sign up to get latest