Sunday, February 12, 2017


SERAT CEMPORET KARYA R. Ng. RANGGAWARSITA DAN KAIDAH ISI SERAT
(Studi Naskah pada Serat Cemporet Karya R. Ng. Ranggawarsita)
Oleh : Saifudin, S.Sos.I

I.             PENDAHULUAN
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Bahasa berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan dan inventaris ciri-ciri kebudayaan. Seperti halnya masyarakat Jawa yang merupakan kelompok etnis, maka masyarakat Jawa memiliki bahasa dan kebudayaan sendiri. Keanekaragaman bahasa Jawa tercermin dari adanya dialek maupun subdialek bahasa Jawa, sedangkan kekomplekannya tercermin dengan adanya kerumitan dalam pemakaian tingkat tutur speech levels dalam tuturan, pemaknaan sinonimi, polisemi, kata-kata arkhais maupun idiom bahasa Jawa. Bahasa Jawa juga memiliki banyak Idiom yang berupa ungkapan atau peribahasa. Bahasa Jawa memiliki fungsi utama sebagai alat komunikasi bagi masyarakat penuturnya. Fungsi bahasa Jawa yang lain seperti, (1) sarana pengembangan kebudayaan sastra dan budaya Jawa, (2) sebagai aset nasional, (3) sebagai sarana komunikasi intra – etnik, (4) sebagai identitas atau jati diri penuturnya, (5) bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar di tingkat awal sekolah dasar di Jawa, (6) surat-menyurat di lingkungan keluarga, dan (7) Sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan seni pertunjukan tradisional.
Kekayaan bahasa dalam hasil kebudayaan jawa, yang berupa sastra terlihat di dalam sastra lama dan legenda  burung selain berfungsi sebagai tokoh ceritera ada pula yang berfungsi ganda yaitu, sebagai penghubung cinta antara pria dan wanita yang terungkap di dalam Serat Cemporet karya Ranggawarsita, terjalin hubungan kisah kasih Jaka Pramana dengan Rara Kumenyar (penyamaran Dewi Suretna, puteri Jepara) yang diciptakan oleh seekor burung beo. Kisah cinta itu berakhir dengan perkawinan Jaka Pramana dengan Rara Kumenyar.
Dalam makalah ini nantinya akan dijelaskan mengenai koleksi barang bersejarah bagu masyarakat Jawa Tengah, yang tersimpan di salam Museum Ranggawarsito Semarang. Serta analisis teks, mengenai isi Serat Cemporet karya R. Ng. Ranggawarsita, seorang pujangga keraton Surakarta.

II.          PERMASALAHAN
1.      Seperti apa gambaran koleksi yang ada dalam Museum Ranggawarsito?
2.      Bahaimana gambaran umum mengenai isi dari Serat Cemporet karya R. Ng. Ranggawarsita?

III.       PEMBAHASAN
A.          Selayang Pandang Museum Ranggawarsita Jawa Tengah
Museum Ranggawarsita merupakan sebuah aset pelayanan publik di bidang pelestarian budaya dan pendidikan yang tidak asing lagi bagi masyarakat Jawa Tengah. Museum ranggawarsita Jawa Tengah diresmikan pada tanggal 5 Juli 1989. Saat ini museum Ranggawarsita memiliki kurang lebih 59.814 buah koleksi yang tersimpan baik di dalam masing-masing ruangan dalam museum ini. Kini sudah banyak pengunjung dari anak-anak sampai orang dewasa yang menyempatkan diri untuk melihat lebih jauh mengenai koleksi maupun sejarah yang terjadi di Jawa Tengah. Tidak hanya dari daerah Semarang, pengunjung juga berasal dari berbagai wilayah di Indonesia.
Nama Ranggawarsita sendiri diambil dari nama seorang pujangga Kearton Surakarta Hadiningrat yang telah menghasilkan karya-karya sastra yang begitu akrab di kalangan masyarakat Jawa. Sebagai contoh: Serat Kalatidha denagn syair-syairnya yang meramalkan akan adnya zaman edan. Museum Ranggawarsita terletak di salah satu sudut Kota Semarang, tepatnya terletak di jl. Abdurrahman Saleh No. 1 Semarang.
Museum ranggawarsita memiliki berbagai macam koleksi yang tersimpan di masing-masing ruang pemeran. Hal tersebut didukung oleh penyajian koleksi yang mengacu pada konteks eksistensi manusia di Jawa tenagh dan lingkungannya. Konteks ini dituangkan dalam empat gedung pamer utama yang ditata secara kronologis. Dimulai dari sejarah alam, zaman Hindu buddha, masa Islam, masa Kolonial, sejarah perjuangan bangsa serta kesenian yang berkembang di Jawa tengah dari dulu hingga sekarang.
Memasuki ruangan pamer utama, kita disambut dengan tetenger Gunungan Blambangan berukuran raksasa yang merupakan hasil karya seni anak bangsa, dari SMK Ukir Jepar, yang menggambarkan sistem kehidupan di alam semesta yang tidak kekal dan diwarnai denagn gejala yang saling bertolak belakang, kanan-kiri, atas-bawah dan depan-belakang. Falsafah yang diyakini masyarakay Jawa adalah bahwa untuk mencapai tujuan mulia, akan selalu mendapat rintangan. Diakhiri denagn kisah Bima Suci yang menggambarkan perjuangan Bima mencapai kehidupan abadi (tirta Parwitra). Digambarkan pula bayangan dewa Ruci dengan tata pewarnaan yang serba hitam, makna filosofinya menggambarkan bahwa perjalanan sejarah masyarakat Jawa yang bermuara pada pembentukan jatidiri di dalam menuju cita-cita.

B.           Koleksi Museum Ranggawarsita Jawa Tengah.
Museum Ranggawarsita memiliki beragam koleksi yang didisplay dalam empat gedung pameran tetap meliputi:
1.         Gedung A (Ruang Geologi dan Paleontologi)
A1. (Gedung A lantai 1), Wahana Geografi dan Batuan.
Ruangan ini menampilkan lukisan sejarah terjadinya alam semesta. Berisi koleksi batuan dan evokatif gua stalaktif dan stalakmit. Serta berisi juga koleksi macam-macam Batu Mulia. Di dalam ruangan ini pengunjuk di ajak untuk melihat lebih jauh proses terbentuknya alam semesta. Tidak hanya itu pengunjung juga diajak untuk mengenal lebih jauh mengenai struktur bumi dari yang paling dalam hingga yang paling luar.
A2. (Gedung A lantai 2), Wahana Paleontologi.
Dalam ruangan ini ditampilkan beberapa koeksi fosil-fosil hewan purba, tumbuhan, serta manusia purba. Dari kesemuanya, banyak yang ditemukan di kawasan situs purbakala Sangiran, Sragen. Selai itu di dalam ruangan ini ditampilkan lukisan tentang perkembangan kehidupan reptil mulai dari zaman terdahulu hingga sekarang.

2.         Gebung B (Ruang Sejarah Peninggalan Islam, masa kolonial serta Wahana Keramik dan Batik)
B2. (Gedung B lantai 2), Wahana Keramik dan Batik.
Dalam ruangan ini digambarkan serta ditampilakan berbagai macam koleksi keramik dari Cina, Eropa dan keramik lokal. Sedangkan koleksi batik, menampilkan koleksi batik dari berbagai daerah di Jawa Tengah sepertii Lasem, Pekalongan, Semarang, Pati, Surakarta dan Banyumasan.
Tidak hanya koleksi keramik  dan batik. Di gedung B lantai 2 ini disajikan gambaran mengenai situs Megalitikum, bentuk Punden Berundak (semacam lokasi yang diguanakan untuk melakukan pemujaan leluhur pada masa kepercayaan Animisme dan Dinamisme), Menhir (sebuah tanda dalam masyarakat Animisme untuk menandai sebuah lokasi yang dianggap sakral), serta miniatur candi Kalasan.
B1. (Gedung B lantai 1), Masa Peninggalan Islam dan Masa Kolonial.
Dalam ruanagn ini dipamerkan beberapa situs-situs pemujaan seperti Dolmen, Arca perwujudan nenek moyang, Nekara dan alat upacara lainnya. Selain itu tampak di salah satu sudut ruangan tersaji beberapa arca perwujudan dewa-dewa. Seperti arca Pradna Paramitha dari candi Singosari Jawa Timur, arca Siwa Mahaguru dari komplek candi Bandungan Kabupaten Semarang, Siwa Mahadewa dari komplek Ngempon Klepu Kabupaten Semarang, Lingga Yoni dari daerah Kalibeji Tuntang kabupaten Semarang,Durga Mahesasuramardini.
Beberapa bagian candi juga tersimpan baik dalam museum ini, seperti bagian terakota sebuah hiasan atas candi, Jalur Bwara sebauh saluran air dalam candi, Kemuncak bangunan candi.
Di salah satu sudut ruangan terpajang Al-Qur’an raksasa tulisan tangan yang dibuat sekiatr abad XIX Masehi. Memasuki masa awal Islam abad XIV-XVI, disajikan berbagai miniatur serta gambarran sejarah awal perkembangan Islam di Jawa. Miniatur banguan masjid agung Demak serta masjid agung Kudus terpampang baik di salah satu sudut dalam ruangan ini.

3.         Gedung C (Wahana Perjuangan bangsa dan Etnografi).
C1. (Gedung C lantai 1), Wahana Perjuangan Bangsa.
Koleksi yang paling menari dalam ruangan ini adalah ruang diorama. Yang menampilkan delapan adegan peristiwa bersejarah yang berhubungan dengan sejarah perjuangan bangsa dalam bentuk boneka kecil. Di ruang diorama ini, pengunjung juga dapat mendengarkan narasi dari sebuah peristiwa melalui earphone yang ada di setiap diorama tersebut. Walaupun pada saat penulis berkunjung fasilitas tersebut tidak dapat dinikmati.
C2. (Gedung C lantai 2), Wahana Etnografi.
Dalam ruangan ini digambarkan kehidupan masyarakat Jawa Tengah sehari-hari. Dalam bidang teknologi mata pencaharian, teknologi industri, teknologi kerajian, teknologi rumah tinggal dan lain segabainya.
Evokatif teknologi industri Besalen (pande besi), merupakan bengkel pembuatan alat-alat pertanian dan pertukangan serta alat-alat rumah tangga, bahkan membuat benda pusaka seperti keris, tombak dan pedang yang biasanya dibuat oleh sang Empu.
4.         Gedung D (Wahana Kesenian dan Era Pembanguan)
D2. (Gedung D lantai 2), Wahana Kesenian.
Dalam ruangan ini disajikan berbagai macam hasil dari kebudayaan masyarakat Jawa Tengah yang pernah ada, mulai dari hasil yang berupa benda, peralatan maupun jenis kesenian musik, pergelakan maupun pertunjukan. Salah satu kesenian yang ditampilkan adalah kesenian Singo Barong (semacam hewan harimau yang di dalamnya terdapat orang yang menggerakkannya atau memainkannya) dan Kuda Lumping (sejenis kuda yang terbuat dari anyaman bambu, yang dimainkan oleh seorang pemain), yang keduanya merupakan seni pertunjukkan yang berbau magis sehingga diperlukan seseorang yang dapat menetralkan kembali pemain yang mengalami trans (kesurupan). Barongan sangat berkembang pesat sebelum masuknya agama Islam.
Dalam ruangan ini pula disajikan berbagai macam bentuk wayang, mulai dari wayang kulit, wayang purwo, wayang goleh dan lain sebagainya. Selain itu di sini disajikan miniatur mengenai pertunjukkan wayang yang biasanya digelar semalan suntuk, mulai dari dalang, panggung, wayang hinhha peralatan yang mendukung sebuah pertunjukkan wayang, yang kesemuany disajikan secara apik menyerupai aslinya. Alat panembromo juga tersaji secara apik dan lengkap di salah satu sudut ruangan.
D1. (Gedung D lantai 1), Wahana Era Pembangunan
Dalam ruangan ini terbagi lagi menjadi beberapa ruangan, diantaranya ruang pembangunan, ruang numismatika/heraldika, ruang tradisi nusantara, ruang intisari, dan diakhiri dengan ruang hibah. Di dalam ruangan ini disajikan berbagi bentuk serta gambaran mengenai sesuatu hal yang berkaitan dengan erkembangan masyarakat dalam masa (era) pembangunan. Mata uang asing dari berbagai belahan duania juga nampak mengisi koleksi museumRanggawarsita, kemudian juga perkembangan bentuk mata uang Indonesia mula dari yang berbentuk lembaraan, koin, besar maupun kecil, yang memiliki gabar sendiri-sendiri juga nampak dalam almari penyimpanan koleksi museum Ranggawarsita.
Ruang hibah merupakan merupakan sebuah ruangan khusus yang menyimpan berbagai koleksi yang berasal dari penyerahan (hibah) yang diberikan secara langsung dari masyarakat kepada pihak penglola museum Ranngawarsita. Benda-benda yang dihibahkan berasal dari perorangn maupun instansi. Sebagai contok berbagai tosan aji, yaitu berupa Keris, tombak dan lain-lain. Selain itu juga ada koleksi sepeda yang digunakan untuk mengantarkan surat maupun paket yang berasal dari hibah PT. Pos Indonesia.[1]
C.          Analisis Teks Naskah SERAT CEMPORET Karya R. Ng. Ranggawarsita
“Songgogora candraning hartati, lwir winidyan saroseng parasdya, ringga-ringa, tan darbe labdeng kawruh, angruruhi wenganging budi, kang mirong ruhareng tyas, jaga angkara nung, minta luwaring duhkita, away kongsi kewran luketing kinteki, kang tata ginupita.”[2]
Songsoggora (payung agung) sebagai lambang keselamatan, bagaikan winidyan (dikaruniai pengetahuan) yang sesuai benar dengan apa yang diidam-idamkan, namun tetap ringa-ringa (ragu-ragu) sewaktu menggubah, karena tidak darbe (memiliki) kemampuan yang tinggi, sehingga terlebih dahulu harus angruruhi (mencari) kerisauan batin, dan jaga (menjaga) angkara murka, seraya mohon luwaring (semoga terbebas dari) kesedihan, agar jangan kongsi (sampai) bingung dalam menyusun jalannya cerita ini, dan demikianlah cerita ini ginupita (digubah).

“Pangapusing putaka sayekti, saking karsa Dalem Sri Narendra, kang kaping sanga mendhireng, Surakarta praja gung, sumbageng rat dibya di murti, matotama susanta, santosa mbek sadu, sadargeng galih legawa, sih ing wadya gung alit samya nemuji, raharjeng praja nata.”[3]
Sesungguhnya buku cerita ini disusun atas kehendak Sri Baginda IX, yang bertahta di kerajaan besar Surakarta. Sri Baginda termasyhur di dunia karena kesaktiannya dan sebagai perujudan utama akan sifat-sifat utama, suci, berhati sabar, sentosa, pemurah serta tulus cintanya kepada rakyat, sehingga besar maupun kecil mereka semua mendoakan kesejahteraan kerajaan Sri Baginda.

“Nahan mangkya mukyaning kekawin, wasitadi dadya sudarsana, salaksaning barang  reh, rinuruh kang rahayu, mangka pemut limiting budi, dumadi tan sangsaya, wahyeng wuryanipun, kang pustaka raja wedha, winardya ring tepa palupining nguni, Prajeng Purwacarita.”[4]
Sebagai awal dari cerita ini akan diungkapkan sebuah kiasan yang indah yang dapat dijadikan teladan dalam melakukan segala hal, asal saja dicari yang rahayu untuk memperingatkan kekhilafan budi, agar segala sesuatu dapat berlangsung dengan mudah, Yang diungkapkansebagi suri teladan adalah cerita lama, bagian akhir dari Pustaka Rajaweda yakni tentang negara Purwacarita.

“Dahat karta harjaning nagari, kawibawan prabaweng narendra, kang kasebut bisikane, Prabu Sri Mahapunggung, deni rambek sudarma niti, widagdeng pangawikan, kamulaning dangu, Sang Prabu Suwelacala, putra jalu nenem samya pekik-pekik, sembada mandraguna.”[5]
Negeri itu sangat sejahtera berkat wibawa raja, yang bergelar Sri Mahapunggung, yang kukuh berpegang pada darma dan peraturan serta ahli di bidang ilmu pengetahuan. Semula raja Suwelecala yang menjadi awal cerita, mempunyai enam orang anak laki-laki yang berimbang kesaktiaannya.

“Kang asepuh pribadi wewangi, Raden Jaka Panuhun punika, remen olahing tetanen, marma jumeneng ratu, angreh sagung wong among tani, Tanah Pagelen sadaya, lan saurutipun, akarya kutha wangunan, nama Prabu Sri Manuhun amengkoni, ing Pagelen Kuthaarja.”[6]
Yang sulung bernama Raden Jaka Panuhun, ia tertarik pada bidang pertanian. Oleh karena itu ia naik tahta dan memerintah segenap masyarakat tani di daerah Pagelan dan sekitanrnya, disanalah ia membangun sebuah kota sebagai pusat pemerintahan daerah Pagelen dan Kutaarja serta bergelar Sri Manuhun.

 “Putra inking panenggak winarni, sira Raden Jaka Sandhanggarba, lampah dagang karemenane, dahat denya manungku, sangkaning the mardya marsudi, dadining artadaya, marmanireng dangu, jumeneng ratu saudagar, akekutha ing Japara nama ngalih Sang Prabu Sri Sadhana.”[7]
Anak yang kedua bernama Raden Jaka Sandanggarba, tertarik pada dunia perdagangan. Oleh karena itu layaklah kalau ia sangat tekun berusaha mengumpulkan modal, sehingga akhirnya menjadi raja saudagar, berpusat di Jepara dan bergelar Sri Sadana.

“Panengahing putra awewangi, sira Raden Jaka Karung kala, sabeng wana karemenane, ambedhag ambubujung, kidangsangsam bantheng jejawi, myang memikat kukila, prapteng wedanipun, jumeneng ratu kirata, angreh para grema tuhaburu tuwin, kalang jagal sadaya.”[8]
Anak yang ketiga bernama Raden Jaka Karungkala, kegemarannya menjelajahi hutan belantara berburu kijang, rusa, banteng, lembu dan memikat burung. Waktu tua menjadi raja di Kirata memimpin para pemburu, para penangkap binatang, para pemelihara ternak dan semua pedagang daging.

“Parambanan kutharening nguni, apanengran Sang Prabu Sri Kala, Kirataraja parabe, anulya arinipun, Jaka Tunggulmetung wewangi, sesabeng jro narmada, karemenanipun, anggung mamandaya mina, myang ndederes aren ing raina wengi, sinambi karya uyah.”[9]
Dulu kotanya di Prambanan dan bergelar Sri Kala, juga terkenal dengan sebutan Kirataraja. Adiknya yakni Jaka Tunggumetung, kegemarannya mengarungi lautan mencari ikan atau menyadap enau di waktu siang, seraya membuat garam di waktu malam.

“Marmanira nguni angratoni, sangunging wong tukang ngambil mina, angiras angreh wong nderes, wong poyahan winengku, Pagebangan khutaning nguni, ran Prabu Sri Malaras, sumendhining sunu, Dyan Jaka Petungtantara, amandhita karem ing pudya semadi, marsudi puruhita.”[10]
Oleh karena itulah dahulu ia merajai segenap nelayan, mengumpulkan dan memimpin para penyadap serta menguasai para pembuat garam. Dulu pusatnya di Pagebangan dan bergelar Sri Malaras, anak yang sumendi, yakni kakak si bungsu yang bernama Raden Jaka Petungtantara, karena gemar beroleh puji dan samadi serta mempelajari ilmu kependetaan dan kepujanggaan istana.

“Marma dadya retuning maharsi, sagung para pandhita myang ajar, kang samya winengku kabeh, ngiras mong kang pangulu, brahmana gung ing Medhang kawit, amranata agama, mangkya namanipun, Prabu Resi Sri Madewa, aneng Lawu Pamagetan apedidik, arja winangun praja.”[11]
Jadilah ia raja para maharesi, segenap pendeta dan ajar, itulah yang ia kuasai, seraya menghimpun para penghulu serta brahmana dan mengatur kehidupan beragam di Medangkawit. Oleh karena itu ia bergelar Raja Resi Sri Madewa. Pertapaannya berpusat di Pamagetan, yang terletak di lereng Gunung Lawu, dibangun sebagai sebuah kerajaan yang sejahtera.

“Dene putra kang anem pribadi, mijil saking garwa prameswara, Jaka Kandhuyu namane, karem keratin iku, amiluta maring wadya lit, ing saben aseseban, kasub sabayantu, lawan sagung kadang warga, prawingnya met nala memalad sih, marma ntuk kewibawan.”[12]
Adapun yang muda, lahir dari permaisuri bernama Jaka Kanduyu, kegemarannya berorganisasi, menghimpun dan mempersatukan rakyat kecil, sehingga setiap kali ada permusyawaratan selalu seia sekata dengan segenap sanak keluarga. Ia memang mahir membangkitkan semangat dan memikat hati, sehingga mempeperoleh kewibawaan.

“Duk lelana dikara ndon jurit, wus kelakon jayeng adilaga, Sri Daneswara muksane, sareng lan patihipun, dwita Rota tanpa panulih, punggaweng praja samya, abipraya nungkul, ing wasana samantara, Raden Jaka Kandhuyu madeg narpati, aneng Purwacarita.”[13]
Ketika ia berkelana memperluasa daerah kekuasaan dengan membawa pasukan, terjadilah peperangan dan ia menang perang mengalahkan Sri Daneswara beserta patihnya yang muksa bersama-sama. Setelah keduanya kalah, tak ada yang tampil lagi seluruh punggawa dari kerajaan itu sepakat untuk menyerah. Tak lama kemudian Raden Jaka Kanduyu menjadi raja di Purwacarita.

“Saking parmane Hyang Utipati, sinung putus ing kawicaksanaan, dadya nagalih namane, Prabu Sri Mahapunggung, nunggak semi kang mukseng jurit, angiras sesangkriban, kasudibyanipun, samana jumenengira, ingestrenan dening para brahmanarsi,myang ratu mancapraja.”230
Berkat pahala Hyang Hutipati, ia dianugerahi kebijaksanaan yang sempurna. Kemudian berganti nama menjadi Sri Mahapunggung, meneruskan gelar raja yang dikalahkannya dalam peperangan, sekaligus untuk merahasiakan kesaktiannya. Upacara penobatannya dihadiri oleh para brahmana, resi, dan raja-raja dari mancanegara.

“Jroning mangsa Srawana marengi, taun Sadhamuka lumaksana, surya sangkala etange, rupa tri mukseng lebu, ketang candra sangkaleng warsi, janma nem tanpa rupa, antara setaun, denya ngangkat para kadang, sinung praja sowang-sowang angratoni, ing reh sabawahira.” [14]
Peristiwa itu terjadi pada masa Srawana, tahun Sadamuka yakni tahun Surya : 1031 atau menurut hitungan tahun Candra : 1061, yakni kurang lebih satu tahun setelah mengangkat saudara-saudaranya memerintah di kerajaan masing-masing, lengkap dengan daerah kekuasaannya.

“Wus mangkana ing antara lami, lulus datang kara-kara, mangkaya wuwusen ing Pegelen, Sang Prabu Sri Manuhun, kataman tyas sengkal kekeling, darunaning sungkawa, denira sesunu, kaping kalih samya cacad, cebol wujil kang sawiji den wastani, Raden Jaka Pratama.”[15]
Demikianlah telah berlangsung beberapa waktu lamanya tanpa ada sesuatu halangan, kini tersebutlah di Pegelen Sri Baginda Sri Manuhun, yang sedang merasa masygul. Sebab musabab kesedihannya ialah, berputra du orang, dua-duanya cacat. Seorang cebol dan yang seorang wujil, yang cebol diberi nama Raden Jaka Pratana.

 Kang  awujil sinungan wewangi, Raden Jaka Sengara punika, kang rama dahat wirange, anggung denya manungku, pudyastuti ing ariratri, mint parmaning dewa, ing pangesthinipun sinungana putra priya, kang apekik sarwa widadeng pambudi, supadi tan sandea.”[16]
Yang wujil diberi nama Raka Jaka Sangara, hal ini membuat ayahnya sangat malu, sehingga siang dan malam ia tiada hentinya bersembahyang, mohon petunjuk dewa yang didambakan ialah semoga dianugerahi anak laki-laki yang tampan, serba bisa mengatasi segala sesuatu agar supaya tidak mencemaskan.

“Mangkya wonten wasita kapyarsi, jroning pudya heh Sri Naranata, amintaa pitulunge, buyut kang adhedhukuh,  aneng Sendhagkulon sayekti, sira antuk sarana, bisa asesunu, jalu pekik asembada, poma nuli lakonana away kongsi, anggawa wadyabala.”[17]
Kini terdengarlah petunjuk dalam samadinya “ Hai Sri Baginda, mintalah pertolongan kepada seorang buyut yang bertempat tinggal di Sendangkulon, engkau pasti akan memperoleh sarana sehingga bisa mendapat anak laki-laki yang tampas dan pantas, segeralah engkau ikhtiar dan jangan membawa pengiring.[18]

*      Analisis dari Segi Kepercayaan
Dari ide cerita yang terkandung di dalam kisah yang terdapat dalam serat Ceporet ini. Pengaruh kepercayaan Hindu-buddha terlihat dengan jelas. Hal ini tidak dinafikkan, karena memang pada masa itu Hindu-buddha sedang berkembang. Akan tetapi yang menarik adalah, ternyata dar dahulu masyarakat Jawa mempunnyai toleransi keagamaan yang sangat besar. Kepercayaan masyarakat Jawa yang terungkap melelui kakawin pada saat tertentu tampak berkembang dalam proses evolusi yang lamban. Namun, yang pasti adalah bahwa ideology yang baru, baik Hindu maupun Buddha, rupanya di Jawa lebih rukun.[19]
*      Analisis dari Segi Penggunaan Kata
Dalam serat ini, kata-kata yang digunakan oleh R. Ng. Ranggawarsito adalah sebuah kata konkret dan abstrak. Seperti halnya, penggunaan kata manusia, nama orang, yang dar keduanya menunjuk kepada suatu benda tertentu yang memiliki eksistensi. Sedangkan abstraknya meruju pada penggunaan kata bijaksana, dermawan, suka berorganisasi, yang mana dari kata-kata tersebut menunjuk kepada sifat, keadaan maupun kegiatan yang dilepas dari obyek tertentu.[20]
Serat Cemporet ini berua sebuah buku, diterbitkan oleh Albert Rusche di Surakarta pada tahun 1896. Merupakan karya R. Ng. ranggawarsito dalam bentuk puisi yang ditulis oleh orang lain. Termasuk jenis fiksi, berupa ajaran pendidikan moral,isinya menceritakan raden mas Jaka Praman, seorang putra Pagelen, menikah dengan Rara Kumenyar seorang anak angkat ki Buyut kumenyar.[21]
*      Analisis dari Segi Pesan Moral
Dalam serat Cemporet ini terdapat beberapa contoh pelajaran moral yang bisa didapat, semisal: seorang raja (orang yang mempunnyai tahta, sebagai penguasa kerajaan) tidak malu-malu untuk meminta petunjuk kepada rakyat biasa (kecil). Selain itu sang raja juga seorang yang taat akan petunjuk dewa, walaupun sudah memiliki kekuasaan yang lebih, sang raja ternayata masih taat akan petunjuk dari sang dewa, hal ini menunjukkan ketaatan seorang hamba tanpa melihat pangkat.
Satu hal yang paling menonjol adalah peristiwa kelahiran putra dari sang raja yang tidak sesuai dengan keinginan, justru di luar dugaan kedua anaknya lahir dengan cacat tubuh yang dibawa masing-masing anak. Kemudian sang raja merasa tidak puas dan bersyukur akan karunia yang telah diberikan. Olah karena itu sebagai generasi muda kita selayaknya bersyukur akan karunia serta segala bentuk pemberian yang berasal dari Tuhan.

IV.       KESIMPULAN
R. Ng. Ranggawarsito merupakan penulis santra Jawa yang begitu produktif pada zamannya. Berbagai macam judul yang ditulis dalam berbagai macam bentuk bingkai karya sastra mapu diciptakan dan dikreasikan oleh R. Ng. Ranggawarsito dengan begitu indah. Hal ini terlihat dari gaya penggunaan kata-kata serta gaya setting cerita serta alur yang begitu runtut, menjadikan karya sastra yang dibuat oleh R. Ng. Ranggawarsito enak untuk dibaca serta untuk dipahami pesan moral yang terkandung dari karya sastra Jawa yang dibuat oleh R. Ng. Ranggawarsito.
Dari ide cerita yang terkandung di dalam kisah yang terdapat dalam serat Ceporet ini. Pengaruh kepercayaan Hindu-buddha terlihat dengan jelas. Hal ini tidak dinafikkan, karena memang pada masa itu Hindu-buddha sedang berkembang. Dalam serat ini, kata-kata yang digunakan oleh R. Ng. Ranggawarsito adalah sebuah kata konkret dan abstrak. Serat Cemporet ini merupakan karya R. Ng. Ranggawarsito dalam bentuk puisi yang ditulis oleh orang lain. Termasuk jenis fiksi, berupa ajaran pendidikan moral,isinya menceritakan raden mas Jaka Praman, seorang putra Pagelen, menikah dengan Rara Kumenyar seorang anak angkat ki Buyut kumenyar.
Dalam serat Cemporet ini terdapat beberapa contoh pelajaran moral yang bisa didapat, semisal: seorang raja (orang yang mempunnyai tahta, sebagai penguasa kerajaan) tidak malu-malu untuk meminta petunjuk kepada rakyat biasa (kecil). Selain itu sang raja juga seorang yang taat akan petunjuk dewa, walaupun sudah memiliki kekuasaan yang lebih, sang raja ternayata masih taat akan petunjuk dari sang dewa, hal ini menunjukkan ketaatan seorang hamba tanpa melihat pangkat.
Satu hal yang paling menonjol adalah peristiwa kelahiran putra dari sang raja yang tidak sesuai dengan keinginan, justru di luar dugaan kedua anaknya lahir dengan cacat tubuh yang dibawa masing-masing anak. Kemudian sang raja merasa tidak puas dan bersyukur akan karunia yang telah diberikan. Olah karena itu sebagai generasi muda kita selayaknya bersyukur akan karunia serta segala bentuk pemberian yang berasal dari Tuhan.

V.          PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya buat, tentunya masih banyak kekurangan. Oleh karena itu saya mengharap saran dan kritik yang konstruktif demi perbaikan pada pembuatan selanjutnya. Terima kasih atas segala kritik dan sarannya. Mohon maaf apabila terdapat banyak kekurangan. Akhirnya saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA

Amien, M. darori (ed.). 2000.  Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
Hasil dari observasi lapangan yang dilakukan di Museum Ranggawarsita Jawa Tengah, Jl. Abdurrahman Saleh No. 01 Semarang
Mundiri. 1994. Logika. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Purwadi. 2005. Sastra Jawa. Yogyakarta: Media Abadi.
Ranggawarsita, R. Ng. 1980. Serat Cemporet. Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.











[1] Hasil dari observasi lapangan yang dilakukan di Museum Ranggawarsita Jawa Tengah, Jl. Abdurrahman Saleh No. 01 Semarang
[2] R. Ng. Ranggawarsita, Serat Cemporet, (Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1980), hlm. 229
[3] Ibid, hlm. 229
[4] Ibid, hlm. 229
[5] Ibid, hlm. 229
[6] Ibid, hlm. 229
[7] Ibid, hlm. 229
[8] Ibid, hlm. 229-230
[9] Ibid, hlm. 230
[10] Ibid, hlm. 230
[11] Ibid, hlm. 230
[12] Ibid, hlm. 230
[13] Ibid, hlm. 230
[14] Ibid, hlm. 230-231
[15] Ibid, hlm. 231
[16] Ibid, hlm. 231
[17] Ibid, hlm. 231
[18] Semua terjemahan yang tidak ditulis Italic (miring), merujuk pada R. Ng. Ranggawarsita, Serat Cemporet, (Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1980), hlm. 9-12
[19] Ismawati, “Budaya dan Kepercaaan Jawa Pra-Islam,” dalam M. darori Amien (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000),  hlm. 13-14
[20] Mundiri, Logika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 24
[21] Purwadi, Sastra Jawa, (Yogyakarta: Media Abadi, 2005), hlm. 31.

1 comment:

  1. Top 5 casino site reviews - Lucky Club
    › Reviews › casino-sites › Reviews › casino-sites Find the luckyclub best casino sites for your needs today. Read our review to see which are the top 10 slots & where to play them. Sign up to get latest

    ReplyDelete

Welcome

Categories

Powered by Blogger.

Followers