Wednesday, January 24, 2018

KEBIJAKAN MEDIA DALAM MENYONGSONG MUSIM POLITIK DI TAHUN POLITIK
Oleh; Saifudin, S.Sos.I

PROLOG
Pemilihan Umum merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat yang merupakan bentuk manifestasi bangsa Indonesia sebagai bagian dari negara demokrasi. Salah satu nilai penting yang terkandung dalam pemilu adalah adanya kepastian hukum mulai dari awal proses pemilu hingga pasca pemilu. Untuk mencapai tujuan pemilu, menciptakan kompetisi yang sehat, partisipatif, keterwakilan yang tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan pemilu harus dilaksankan dengan prinsip peningkatan kualitas dalam setiap pelaksanaannya. Penerapan semboyan pemilu LUBER JURDIL (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil) perlu dilakukan pengawalan dari hilir hingga ke hulu. Untuk mengejar peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilu, perlu adanya peningkatan fungsi pengawasan pemilu oleh berbagai pihak.
Setelah tumbangnya orde baru, bangsa Indonesia telah melaksanakan pesta demokrasi sebanyak empat kali (1999, 2004, 2009, dan 2014). Sepanjang perjalanannya, pemilu telah menjadi ajang untuk menyampaikan gagasan politik, janji-janji politik, serta berbagai macam isu yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Berbagai partai politik dan tokoh politik hilir mudik menghiasi layar kaca televisi dan headline-headline pemberitaan di media cetak. Semua dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh simpati dan dukungan politik para pemilih. Media massa dipilih sebagai media kampanye, karena dampak yang dimiliki media begitu besar. Daya jangkau media massa yang sangat luas menjadi pertimbangan yang lain. Hal ini berakibat, meningkatkan frekuensi konten-konten politik di berbagai media massa. Lahirnya Undang-undang Penyiaran No. 32 tahun 2002, nampaknya belum memberikan banyak perubahan dengan dunia penyiaran saat ini. Berbagai macam pelanggaran kerap mewarnai dunia penyiaran Indonesia. Media penyiaran Indonesia masih banyak yang mengedepankan aspek keuntungan bisnis daripada memberikan sajian-sajian yang memiliki nilai edukasi bagi para penonton. Tentu ini menimbulkan problematika tersendiri, di satu sisi media masih berharap dengan masuknya iklan. Di sisi yang lain, media memiliki tanggung jawab moral kepada public karena penggunaan frekuensi radio oleh media penyiaran.

MEDIA MASSA DAN DEMOKRASI
Menurut Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, dalam paham keadulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagi pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara (Jimly, 2006:68-169). Pengertian demokrasi sebagai sebuah tatacara pemerintahan, yang menerapkan sistem  kesamaan warga Negara untuk memperoleh hak memerintah dan juga diperintah (Koentjoro, 1987: 6).
Sistem demokrasi mengimplikasikan adanya kebebasan masyarakat sipil dan partai politik,  untuk berbicara, menerbitkan, berkumpul dan berorganisasi, yang dibutuhkan bagi perdebatan politik dan pelaksanaan kampanye-kampanye pemilihan itu (Dara Aisyah, 2003: 2). Indikator demokrasi menurut Dahl adalah sebagai berikut :
1.      Kebebasan untuk membentuk dan mengikuti organisasi
2.      Kebebasan berekprsi
3.      Adnya hak memberikan suara
4.      Adanya egilibilitas untuk menduduki jabatn publik
5.      Adanya hak para pemimpin politik untuk berkompetisi secara sehat merebut dukungan dan suara
6.      Tersedianya sumber-sumber informasi alternatif
7.      Adanya pemilihan umum yang bebas dan adil
8.      Adnya intitusi-institusi untuk menjadikan kebijakan pemerintah tergantung pada suara-suara (pemilih, rakyat) dan ekspresi pilihan (politik) lainya serta termasuk perlindungsn terhadap HAM.
Media pers adalah saluran komunikasi massa yang menjangkau sasaran secara luas. Peranannya dalam demokrasi sangat menentukan. Oleh sebab itu, pers dianggap sebagai the fourth estate of democracy, atau melengkapi istilah Trias Politica  dari Montesquieu, disebut juga dengan istilah  Quadru Politica (Jimly, 2006: 167)
Mengenai posisi media dalam sistem politik, maka media massa adalah salah satu sarana dalam melaksanakan sosialisasi politik. Sosialisasi politik adalah bagian dari proses sosialisasi yang tujuannya membentuk nilai-nilai politik, yang menunjukkan bagaimana seharusnya masing-masing masyarakat berpartisipasi dalam sistem politiknya. Dengan demikian, sosialisasi politik merupakan proses pembentukan sikap-sikap dan pola tingkah laku politik (Colin MacAndrews, 2008: 42).
Disisi lain, media dalam hal ini juga mempunyai dua posisi yang berbeda. Kacung Marijan perpendapat, di negara demokrasi manapun, media akan menjalankan perannya,  pertama, sebagai penyampai informasi kepada masyarakat. Kedua,  sebagai aktor yang akan menyatakan sikapnya dengan mengangkat isu-isu tertentu untuk mempengaruhi pemirsa ( Kompas, Rabu 7 Maret 2012). Dengan inilah, media tidak akan lepas dari fungsi sosialisasi dan fungsi promosi dalam rangka mempengaruhi pemirsanya.

PERANAN MEDIA MASSA
Keberadaan media massa sampai saat ini tidak bisa dilepaskan dari kehidupan keseheraian masyarakat. Media massa sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat di berbagai kalangan. Adanya media massa merupakan alat yang sangat berguna sebagi kontrol sosial di masyarakat. Media juga dapat berfungsi ganda sebagai alat penekan terhadap kebijakan tertentu yang dinilai tidak sejalan dengan apa yang diinginkan masyarakat (Wahidin, 2011: 35). Dalam konteks sosiologis, pers dapat dipandang sebagi satu sistem yaitu sistem pers yang menjadi bagian dari sistem komunikasi. Sementara sistem komunikasi merupakan bagian dari sistem kemasyarakatan (Wahidin, 2011: 42).
Peran media massa dalam kehidupan sosial, terutama dalam masyarakat modern tidak ada yang menyangkal, menurut McQuail (2000 : 66), pada hakekatnya, terdapat enam perspektif dalam hal melihat peran media, yaitu:
1.      Melihat media massa sebagai window on event and experience. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak melihat apa yang sedang terjadi di luar sana atau media merupakan sarana belajar untuk mengetahui berbagai peristiwa.
2.      Media juga sering dianggap sebagai a mirror of event in society and the world, implying a faithful reflection. Cermin berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya. Karenanya para pengelola media sering merasa tidak bersalah jika isi media penuh dengan kekerasan, konflik, pornografi dan berbagai keburukan lain, karena memang menurut mereka faktanya demikian, media hanya sebagai refleksi fakta, terlepas dari suka atau tidak suka. Padahal sesungguhnya, angle, arah dan framing dari isi yang dianggap sebagai cermin realitas tersebut diputuskan oleh para profesional media, dan khalayak tidak sepenuhnya bebas untuk mengetahui apa yang mereka inginkan.
3.      Memandang media massa sebagai filter, atau gatekeeper yang menyeleksi berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak. Media senantiasa memilih isu, informasi atau bentuk konten yang lain berdasar standar para pengelolanya. Di sini khalayak dipilihkan oleh media tentang apa-apa yang layak diketahui dan mendapat perhatian.
4.      Media massa acapkali pula dipandang sebagai guide, penunjuk jalan atau interpreter, yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas berbagai ketidakpastian, atau alternatif yang beragam.
Dalam bidang politik, terutama dalam kesuksesan sebuah penyelenggaraan pemilihan umum, maka peran media tidak hanya berhenti pada fungsi-fungsi tersebut di atas, tetapi peranan media massa diharapkan dapat menjadi media pendidikan politik bagi warga scara luas. Setidaknya media dapat berperan untuk empat pengaruh media dalam politik bagi masyarakat yaitu sumber informasi tentang pemilu, mempengarui perilaku memilih, sehingga akan berdampak pada sistem politik yang berjalan. Selain itu, media dapat menjadi media bagi para kandidat/politikus untuk melaukan sosialisasi program-program dan gagasan-gagasan yang diusung, serta sebagai media untuk memberikan gambaran sepak terjang yang telah dilakukan oleh para kandidat/politikus. Dari fungsi-fungsi tersebut, diharapkan masyarakat secara luas dapat menentukan kandidat/politikus yang mampu dan memiliki track record yang baik yang akan menjadi pilihannya dalam pemilu.

KEBIJAKAN MEDIA MENYONGSONG TAHUN PEMILU
Pemberitaan yang dilakukan oleh media massa mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap masyarakat. Efek langsung yang ditimbulkan adalah bagaimana media tersebut dapat mempengaruhi pembentukan pandangan serta pola perilaku politik yang berkembang di masyarakat. Penggunaan isu-isu yang ada sebagai salah satu contoh nyata yang menguatkan teori agenda-setting untuk mempengaruhi pandangan masyarakat. Pemberitaan media untuk membangun pendapat-pendapat mengenai isu-isu atau peristiwa politik yang terjadi sambil mempertimbangkan mana yang benar dan mana yang salah menjadi semakin kabur.
Media massa sebagai salah satu elemen penting dalam kehidupan bermasyarakat, seharusnya mengedepankan kepentingan publik di atas kepentingan media itu sendiri. Terlebih media penyiaran yang dalam menjalankan kinerjanya menggunakan frekuensi radio yang merupakan seumber daya terbatas dan milik publik. Namun, nampaknya media penyiaran telah banyak yang mengesampingkan kepentingan public. Padahal dalam UU penyiaran No. 32 tahun 2002 Pasal 36 point dengan menjelaskan bahwa, “Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu”. Kemudian, pasal 11 point 1 Pedoman Perilaku Penyiaran (P3), “Lembaga penyiaran wajib memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik”. Ditambah lagi pada pasal 11 Standar Program Siaran (SPS) point 1, “Program siaran wajib dimanfaatkan untuk kepentingan publik dan tidak untuk kepentingan kelompok tertentu. Sehingga sangat jelas bahwa media penyiaran dalam menjalankan prinsip kerjanya harus menjunjung tinggi kepentingan publik.
Selama rezim Orde Baru, media banyak dimanfaatkan untuk kampanye bagi Golkar. Apalagi, banyak pemilik dan pengelola media yang menjadi pengurus Partai Golkar. Pada Pemilu 1999, banyak parpol yang memanfaatkan media untuk kampanye. Bahkan, beberapa parpol membuat media sendiri.
Ketentuan bagi parpol untuk berkampanye telah disebutkan dalam UU Pemilu No. 7 tahunh. Pada pasal 291 point 2 UU Pemilu dinyatakan, "Media elektronik dan media cetak memberikan kesempatan yang sama kepada peserta Pemilu untuk menyampaikan tema dan materi kampanye". Namun, fakta di lapangan banyak iklan politik yang tayang di luar masa kampanye. Kasus terbaru yang menyita perhatian insan penyiaran adalah iklan mars Perindo yang tayang di jaringan media MNC Group. Kemudian adanya surat edaran KPI nomor 225/K/KPI/31.2/04/2017 yang mengatur tentang ketentuan iklan politik yang digugurkan oleh PTUN Jakarta sehingga peraturan tentang iklan politik belum dapat dilaksanakan.
Tahun 2018 adalah tahun politik di mana aka nada Pilkada serentak di 171 daerah (tingkat 1 dan 2), serta masa persiapan pemilu presiden dan legislatif tahun 2019. Media massa, kususnya media penyiaran memiliki andil yang sangat besar dalam mensukseskan gelaran politik di Indonesia. Untuk itu, perlu adanya peraturan setingkat peraturan presiden atau peraturan menteri untuk mengatur tentang iklan politik. Mengingat dampat yang ditimbulkan dari tayangan iklan politik yang belum memasuki masa kampanye yang sangat meresahkan masyarakat. Iklan politik perlu diatur sedemikian rupa, mulai dari waktu tayang, durasi tayang, konten, hingga masalah tariff iklan, agar media penyiaran tidak hanya melihat dari aspek keuntungan saja saat menerima dan menayangkan iklan polit baik dari perseorangan maupun dari partai politik.
Usaha Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan mengeluarkan surat edaran No. 225/K/KPI/31.2/04/2017, seharusnya diapresiasi oleh pemangku kebijakan, pemerintah, dan masyarakat luas. Walaupun pada akhirnya harus kalah dalam siding gugatan PTUN. Langkah-langkah untuk melindungi masyarakat terhadap penggunaan frekuensi radio milik publik harus digencarkan. Harapannya, penggunaan frekuensi radio oleh media penyiaran bisa mengedepankan kepentingan publik.

EPILOG
Sebagai bentuk tanggung jawab social, liputan media yang disampaikan televisi seyogyanya mengutamakan isu-isu yang relevan bagi publik, bukan isu pribadi atau kelompok. Masuknya berita-berita pemilik media yang mempunyai agenda politik dengan jumlah prosesntase yang signifikan secara jelas mempersempit ruang pemberitaan publik, sehingga isu-isu publik yang semestinya terangkat tertutup oleh iklan politik pemilik media (Rianto, dkk, 2014: 175-176).
Kampanye menggunakan media tentu lebih efisien karena dapat menjangkau publik yang lebih luas. Namun, dari sisi efektivitas, kampanye yang memfasilitasi komunikasi dua arah antara kandidat sebagai produk politik dan pemilih tentu lebih efektif dalam penyampaian pesan kampanyenya. Jika dulu hal ini hanya dibedakan menjadi kampanye bermedia (komunikasi satu arah, dari kandidat ke pemilih, kecuali dalam acara interaktif di media penyiaran televisi dan radio) dan kampanye langsung (komunikasi dua arah, melakukan pertemuan dengan pemilih, kampanye terbuka), sekarang, dengan adanya media sosial, komunikasi dua arah dengan difasilitasi media ditambah tidak ada batasan waktu dan ruang tentu biar bagaimanapun tetap menjadi keuntungan tersendiri bagi kandidat politik.
Terlepas dari kemudahan dan juga keuntungan yang dapat diperoleh baik oleh media penyiarannya maupun kandidat/politikusnya, pemerintah melalui lembaga-lembaga perlu membuat kebijakan yang dapat mengatur dan menciptakan kondisifitas menjelang tahun politik mendatang. Iklan-iklan politik yang hilir mudik menghiasi layar kaca, sebaiknya hanya dilakukan pada saat masa-masa kampanye. Hal ini bertujuan agar kepentingan masyarakat tidak tertutupi oleh kepentingan pihak-pihak tertentu.
Media harus dikembalikan kepada fungsinya yaitu sebagai salah satu pilar demokrasi dan melakukan pendidikan politik bagi masyarakat. Media juga sehgarusnya tidak acuh terhadap kritik, masyarakat juga mempunyai hak untuk mengkritisi media yang keblabasan baik dalam bidang kebijakan maupun kontennya. Begitu besar pengaruh dan peran media dalam perpolitikan, hendaknya dimanfaatkan secara bijaksana oleh media itu sendiri. Kontrol masyarakat untuk selalu melihat dan menempatkan media dengan proposional, kritis dan obyektif sangat lah diperlukan. Hendaknya media juga mendorong masyarakat untuk melakukan critical control, sehingga terjalin kerjasama yang benar-benar secara positif antara media dan masyarakat dan membawa manfaat dan kontribusi bagi kedua belah pihak.

DAFTAR PUSTAKA

Colin MacAndrews. (2008). Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: UGM Press.
Dara Aisyah. (2003). Hubungan Birokrasi Dengan Demokrasi. USU Digital Library.Parwito. (2009). Komunikasi Politik; Media Massa dan Kampanye Pemilihan. Yogyakarta: Jalasutra.
Jimly Asshiddiqie. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II.  Jakarta: Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Koentjoro Poerbopranoto. (1987).  Sistem Pemerintahan Demokrasi.  Bandung: Eresco.
McQuail, Denis. (2000). Mass Communication Theories, Fourth edition. London: Sag Publication.
Rianto, Puji, dkk. (2014). Kepemilikan dan Intervensi Siaran. Yogyakarta: PR2Media.
Wahidin, Samsul. (2011).  Hukum Pers. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) Komisi Penyiaran Indonesia.




1 comment:

  1. Kadyar | online casino, slots, poker
    BONUS 메리트카지노 CODE: BONUS100 인카지노 (1st deposit + up to $300); BONUS100 (2nd deposit + 100% up to kadangpintar $100); BONUS100 (3rd deposit + 100% up to

    ReplyDelete

Welcome

Categories

Powered by Blogger.

Followers