KEBIJAKAN MEDIA DALAM MENYONGSONG
MUSIM POLITIK DI TAHUN POLITIK
Oleh; Saifudin, S.Sos.I
PROLOG
Pemilihan
Umum merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat yang merupakan bentuk
manifestasi bangsa Indonesia sebagai bagian dari negara demokrasi. Salah satu
nilai penting yang terkandung dalam pemilu adalah adanya kepastian hukum mulai
dari awal proses pemilu hingga pasca pemilu. Untuk mencapai tujuan pemilu,
menciptakan kompetisi yang sehat, partisipatif, keterwakilan yang tinggi, serta
memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan pemilu
harus dilaksankan dengan prinsip peningkatan kualitas dalam setiap
pelaksanaannya. Penerapan semboyan pemilu LUBER JURDIL (Langsung, Umum, Bebas,
Rahasia, Jujur, dan Adil) perlu dilakukan pengawalan dari hilir hingga ke hulu.
Untuk mengejar peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilu, perlu adanya
peningkatan fungsi pengawasan pemilu oleh berbagai pihak.
Setelah
tumbangnya orde baru, bangsa Indonesia telah melaksanakan pesta demokrasi
sebanyak empat kali (1999, 2004, 2009, dan 2014). Sepanjang perjalanannya,
pemilu telah menjadi ajang untuk menyampaikan gagasan politik, janji-janji
politik, serta berbagai macam isu yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Berbagai partai politik dan tokoh politik hilir mudik menghiasi layar kaca
televisi dan headline-headline pemberitaan di media cetak. Semua dilakukan
dengan tujuan untuk memperoleh simpati dan dukungan politik para pemilih. Media
massa dipilih sebagai media kampanye, karena dampak yang dimiliki media begitu
besar. Daya jangkau media massa yang sangat luas menjadi pertimbangan yang
lain. Hal ini berakibat, meningkatkan frekuensi konten-konten politik di
berbagai media massa. Lahirnya Undang-undang Penyiaran No. 32 tahun 2002,
nampaknya belum memberikan banyak perubahan dengan dunia penyiaran saat ini.
Berbagai macam pelanggaran kerap mewarnai dunia penyiaran Indonesia. Media
penyiaran Indonesia masih banyak yang mengedepankan aspek keuntungan bisnis
daripada memberikan sajian-sajian yang memiliki nilai edukasi bagi para
penonton. Tentu ini menimbulkan problematika tersendiri, di satu sisi media
masih berharap dengan masuknya iklan. Di sisi yang lain, media memiliki
tanggung jawab moral kepada public karena penggunaan frekuensi radio oleh media
penyiaran.
MEDIA MASSA DAN DEMOKRASI
Menurut
Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, dalam paham keadulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap
sebagi pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara (Jimly,
2006:68-169). Pengertian demokrasi sebagai sebuah tatacara pemerintahan, yang
menerapkan sistem kesamaan warga Negara
untuk memperoleh hak memerintah dan juga diperintah (Koentjoro, 1987: 6).
Sistem
demokrasi mengimplikasikan adanya kebebasan masyarakat sipil dan partai
politik, untuk berbicara, menerbitkan,
berkumpul dan berorganisasi, yang dibutuhkan bagi perdebatan politik dan
pelaksanaan kampanye-kampanye pemilihan itu (Dara Aisyah, 2003: 2). Indikator
demokrasi menurut Dahl adalah sebagai berikut :
1. Kebebasan
untuk membentuk dan mengikuti organisasi
2. Kebebasan
berekprsi
3. Adnya
hak memberikan suara
4. Adanya
egilibilitas untuk menduduki jabatn publik
5. Adanya
hak para pemimpin politik untuk berkompetisi secara sehat merebut dukungan dan
suara
6. Tersedianya
sumber-sumber informasi alternatif
7. Adanya
pemilihan umum yang bebas dan adil
8. Adnya
intitusi-institusi untuk menjadikan kebijakan pemerintah tergantung pada
suara-suara (pemilih, rakyat) dan ekspresi pilihan (politik) lainya serta
termasuk perlindungsn terhadap HAM.
Media
pers adalah saluran komunikasi massa yang menjangkau sasaran secara luas.
Peranannya dalam demokrasi sangat menentukan. Oleh sebab itu, pers dianggap
sebagai the fourth estate of democracy,
atau melengkapi istilah Trias Politica dari Montesquieu, disebut juga dengan
istilah Quadru Politica (Jimly, 2006: 167)
Mengenai
posisi media dalam sistem politik, maka media massa adalah salah satu sarana
dalam melaksanakan sosialisasi politik. Sosialisasi politik adalah bagian dari
proses sosialisasi yang tujuannya membentuk nilai-nilai politik, yang
menunjukkan bagaimana seharusnya masing-masing masyarakat berpartisipasi dalam
sistem politiknya. Dengan demikian, sosialisasi politik merupakan proses
pembentukan sikap-sikap dan pola tingkah laku politik (Colin MacAndrews, 2008:
42).
Disisi
lain, media dalam hal ini juga mempunyai dua posisi yang berbeda. Kacung
Marijan perpendapat, di negara demokrasi manapun, media akan menjalankan
perannya, pertama, sebagai penyampai
informasi kepada masyarakat. Kedua,
sebagai aktor yang akan menyatakan sikapnya dengan mengangkat isu-isu
tertentu untuk mempengaruhi pemirsa ( Kompas, Rabu 7 Maret 2012). Dengan
inilah, media tidak akan lepas dari fungsi sosialisasi dan fungsi promosi dalam
rangka mempengaruhi pemirsanya.
PERANAN MEDIA MASSA
Keberadaan
media massa sampai saat ini tidak bisa dilepaskan dari kehidupan keseheraian
masyarakat. Media massa sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat di berbagai
kalangan. Adanya media massa merupakan alat yang sangat berguna sebagi kontrol
sosial di masyarakat. Media juga dapat berfungsi ganda sebagai alat penekan
terhadap kebijakan tertentu yang dinilai tidak sejalan dengan apa yang
diinginkan masyarakat (Wahidin, 2011: 35). Dalam konteks sosiologis, pers dapat
dipandang sebagi satu sistem yaitu sistem pers yang menjadi bagian dari sistem
komunikasi. Sementara sistem komunikasi merupakan bagian dari sistem
kemasyarakatan (Wahidin, 2011: 42).
Peran
media massa dalam kehidupan sosial, terutama dalam masyarakat modern tidak ada
yang menyangkal, menurut McQuail (2000
: 66), pada hakekatnya, terdapat enam perspektif dalam hal melihat peran
media, yaitu:
1. Melihat
media massa sebagai window on event and experience. Media
dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak melihat apa yang sedang
terjadi di luar sana atau media merupakan sarana belajar untuk mengetahui
berbagai peristiwa.
2. Media
juga sering dianggap sebagai a mirror of event in society and the
world, implying a faithful reflection. Cermin berbagai peristiwa yang
ada di masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya. Karenanya para
pengelola media sering merasa tidak bersalah jika isi media penuh dengan
kekerasan, konflik, pornografi dan berbagai keburukan lain, karena memang menurut
mereka faktanya demikian, media hanya sebagai refleksi fakta, terlepas dari
suka atau tidak suka. Padahal sesungguhnya, angle, arah dan framing dari
isi yang dianggap sebagai cermin realitas tersebut diputuskan oleh para
profesional media, dan khalayak tidak sepenuhnya bebas untuk mengetahui apa
yang mereka inginkan.
3. Memandang
media massa sebagai filter, atau gatekeeper yang menyeleksi
berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak. Media senantiasa memilih isu, informasi atau
bentuk konten yang
lain berdasar standar para pengelolanya. Di sini khalayak dipilihkan oleh media
tentang apa-apa yang layak diketahui dan mendapat perhatian.
4. Media
massa acapkali pula dipandang sebagai guide, penunjuk jalan
atau interpreter, yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas
berbagai ketidakpastian, atau alternatif yang beragam.
Dalam
bidang politik, terutama dalam kesuksesan sebuah penyelenggaraan pemilihan
umum, maka peran media tidak hanya berhenti pada fungsi-fungsi tersebut di
atas, tetapi peranan media massa diharapkan dapat menjadi media pendidikan
politik bagi warga scara luas. Setidaknya media dapat berperan untuk empat
pengaruh media dalam politik bagi masyarakat yaitu sumber informasi tentang
pemilu, mempengarui perilaku memilih, sehingga akan berdampak pada sistem
politik yang berjalan. Selain itu, media dapat menjadi media bagi para
kandidat/politikus untuk melaukan sosialisasi program-program dan
gagasan-gagasan yang diusung, serta sebagai media untuk memberikan gambaran
sepak terjang yang telah dilakukan oleh para kandidat/politikus. Dari
fungsi-fungsi tersebut, diharapkan masyarakat secara luas dapat menentukan
kandidat/politikus yang mampu dan memiliki track
record yang baik yang akan menjadi pilihannya dalam pemilu.
KEBIJAKAN MEDIA MENYONGSONG TAHUN
PEMILU
Pemberitaan
yang dilakukan oleh media massa mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
masyarakat. Efek langsung yang ditimbulkan adalah bagaimana media tersebut
dapat mempengaruhi pembentukan pandangan serta pola perilaku politik yang
berkembang di masyarakat. Penggunaan isu-isu yang ada sebagai salah satu contoh
nyata yang menguatkan teori agenda-setting untuk mempengaruhi pandangan
masyarakat. Pemberitaan media untuk membangun pendapat-pendapat mengenai
isu-isu atau peristiwa politik yang terjadi sambil mempertimbangkan mana yang
benar dan mana yang salah menjadi semakin kabur.
Media
massa sebagai salah satu elemen penting dalam kehidupan bermasyarakat,
seharusnya mengedepankan kepentingan publik di atas kepentingan media itu
sendiri. Terlebih media penyiaran yang dalam menjalankan kinerjanya menggunakan
frekuensi radio yang merupakan seumber daya terbatas dan milik publik. Namun,
nampaknya media penyiaran telah banyak yang mengesampingkan kepentingan public.
Padahal dalam UU penyiaran No. 32 tahun 2002 Pasal 36 point dengan menjelaskan
bahwa, “Isi siaran wajib dijaga
netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu”.
Kemudian, pasal 11 point 1 Pedoman Perilaku Penyiaran (P3), “Lembaga penyiaran wajib memperhatikan
kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik”. Ditambah lagi pada
pasal 11 Standar Program Siaran (SPS) point 1, “Program siaran wajib dimanfaatkan untuk kepentingan publik dan tidak
untuk kepentingan kelompok tertentu. Sehingga sangat jelas bahwa media
penyiaran dalam menjalankan prinsip kerjanya harus menjunjung tinggi
kepentingan publik.
Selama
rezim Orde Baru, media banyak dimanfaatkan untuk kampanye bagi Golkar. Apalagi,
banyak pemilik dan pengelola media yang menjadi pengurus Partai Golkar. Pada
Pemilu 1999, banyak parpol yang memanfaatkan media untuk kampanye. Bahkan,
beberapa parpol membuat media sendiri.
Ketentuan
bagi parpol untuk berkampanye telah disebutkan dalam UU Pemilu No. 7 tahunh.
Pada pasal 291 point 2 UU Pemilu dinyatakan, "Media elektronik dan media
cetak memberikan kesempatan yang sama kepada peserta Pemilu untuk menyampaikan
tema dan materi kampanye". Namun, fakta di lapangan banyak iklan politik
yang tayang di luar masa kampanye. Kasus terbaru yang menyita perhatian insan
penyiaran adalah iklan mars Perindo yang tayang di jaringan media MNC Group.
Kemudian adanya surat edaran KPI nomor 225/K/KPI/31.2/04/2017 yang mengatur
tentang ketentuan iklan politik yang digugurkan oleh PTUN Jakarta sehingga
peraturan tentang iklan politik belum dapat dilaksanakan.
Tahun
2018 adalah tahun politik di mana aka nada Pilkada serentak di 171 daerah
(tingkat 1 dan 2), serta masa persiapan pemilu presiden dan legislatif tahun
2019. Media massa, kususnya media penyiaran memiliki andil yang sangat besar
dalam mensukseskan gelaran politik di Indonesia. Untuk itu, perlu adanya
peraturan setingkat peraturan presiden atau peraturan menteri untuk mengatur
tentang iklan politik. Mengingat dampat yang ditimbulkan dari tayangan iklan
politik yang belum memasuki masa kampanye yang sangat meresahkan masyarakat.
Iklan politik perlu diatur sedemikian rupa, mulai dari waktu tayang, durasi
tayang, konten, hingga masalah tariff iklan, agar media penyiaran tidak hanya
melihat dari aspek keuntungan saja saat menerima dan menayangkan iklan polit
baik dari perseorangan maupun dari partai politik.
Usaha
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan mengeluarkan surat edaran No.
225/K/KPI/31.2/04/2017, seharusnya diapresiasi oleh pemangku kebijakan,
pemerintah, dan masyarakat luas. Walaupun pada akhirnya harus kalah dalam
siding gugatan PTUN. Langkah-langkah untuk melindungi masyarakat terhadap
penggunaan frekuensi radio milik publik harus digencarkan. Harapannya,
penggunaan frekuensi radio oleh media penyiaran bisa mengedepankan kepentingan
publik.
EPILOG
Sebagai
bentuk tanggung jawab social, liputan media yang disampaikan televisi
seyogyanya mengutamakan isu-isu yang relevan bagi publik, bukan isu pribadi
atau kelompok. Masuknya berita-berita pemilik media yang mempunyai agenda
politik dengan jumlah prosesntase yang signifikan secara jelas mempersempit
ruang pemberitaan publik, sehingga isu-isu publik yang semestinya terangkat
tertutup oleh iklan politik pemilik media (Rianto, dkk, 2014: 175-176).
Kampanye
menggunakan media tentu lebih efisien karena dapat menjangkau publik yang lebih
luas. Namun, dari sisi efektivitas, kampanye yang memfasilitasi komunikasi dua
arah antara kandidat sebagai produk politik dan pemilih tentu lebih efektif
dalam penyampaian pesan kampanyenya. Jika dulu hal ini hanya dibedakan menjadi
kampanye bermedia (komunikasi satu arah, dari kandidat ke pemilih, kecuali
dalam acara interaktif di media penyiaran televisi dan radio) dan kampanye
langsung (komunikasi dua arah, melakukan pertemuan dengan pemilih, kampanye
terbuka), sekarang, dengan adanya media sosial, komunikasi dua arah dengan
difasilitasi media ditambah tidak ada batasan waktu dan ruang tentu biar
bagaimanapun tetap menjadi keuntungan tersendiri bagi kandidat politik.
Terlepas
dari kemudahan dan juga keuntungan yang dapat diperoleh baik oleh media penyiarannya
maupun kandidat/politikusnya, pemerintah melalui lembaga-lembaga perlu membuat
kebijakan yang dapat mengatur dan menciptakan kondisifitas menjelang tahun
politik mendatang. Iklan-iklan politik yang hilir mudik menghiasi layar kaca,
sebaiknya hanya dilakukan pada saat masa-masa kampanye. Hal ini bertujuan agar
kepentingan masyarakat tidak tertutupi oleh kepentingan pihak-pihak tertentu.
Media
harus dikembalikan kepada fungsinya yaitu sebagai salah satu pilar demokrasi
dan melakukan pendidikan politik bagi masyarakat. Media juga sehgarusnya tidak
acuh terhadap kritik, masyarakat juga mempunyai hak untuk mengkritisi media
yang keblabasan baik dalam bidang kebijakan maupun kontennya. Begitu besar
pengaruh dan peran media dalam perpolitikan, hendaknya dimanfaatkan secara
bijaksana oleh media itu sendiri. Kontrol masyarakat untuk selalu melihat dan
menempatkan media dengan proposional, kritis dan obyektif sangat lah
diperlukan. Hendaknya media juga mendorong masyarakat untuk melakukan critical control, sehingga terjalin
kerjasama yang benar-benar secara positif antara media dan masyarakat dan
membawa manfaat dan kontribusi bagi kedua belah pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Colin MacAndrews. (2008). Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta:
UGM Press.
Dara Aisyah. (2003). Hubungan Birokrasi Dengan Demokrasi. USU
Digital Library.Parwito. (2009). Komunikasi
Politik; Media Massa dan Kampanye Pemilihan. Yogyakarta: Jalasutra.
Jimly Asshiddiqie. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI.
Koentjoro Poerbopranoto. (1987). Sistem
Pemerintahan Demokrasi. Bandung:
Eresco.
McQuail, Denis. (2000). Mass
Communication Theories, Fourth
edition. London: Sag Publication.
Rianto,
Puji, dkk. (2014). Kepemilikan dan
Intervensi Siaran. Yogyakarta: PR2Media.
Wahidin, Samsul. (2011). Hukum
Pers. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum.
Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan
Standar Program Siaran (SPS) Komisi Penyiaran Indonesia.
Kadyar | online casino, slots, poker
ReplyDeleteBONUS 메리트카지노 CODE: BONUS100 인카지노 (1st deposit + up to $300); BONUS100 (2nd deposit + 100% up to kadangpintar $100); BONUS100 (3rd deposit + 100% up to